Opini: Investor Takut Media dan LSM? Ini Bukti Kebenaran Bukan Lagi Cukup
Oleh: Wisnu Bangun Saputro, S.I.Kom
Pengamat Ilmu Komunikasi dan Jurnalis JATIMTIMES
Apakah menjadi benar secara hukum sudah cukup bagi investor untuk merasa aman? Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya opini publik terbentuk, jawabannya adalah: tidak.
Dalam kajian komunikasi massa dan manajemen reputasi, kita memasuki era di mana persepsi publik lebih cepat menentukan “kebenaran sosial” dibanding putusan pengadilan. Investor, meskipun secara legal berada pada jalur yang tepat, tetap merasa takut menghadapi tekanan media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Mereka berhadapan dengan apa yang saya sebut sebagai krisis komunikasi reputasi.
Hukum Tak Secepat Judul Berita
Media, baik nasional maupun lokal, kini bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga membentuk realitas. Dengan mekanisme agenda setting yang disoroti McCombs dan Shaw (1972), media dapat mengarahkan perhatian publik pada satu isu dan memantik emosi sosial. Bahkan sebelum hukum sempat bicara, media sudah menyampaikan "penghakiman" yang dibumbui narasi, opini, dan kadang prasangka.
Dalam proses ini, LSM sering menjadi sumber legitimasi sosial. Mereka mewakili suara yang tidak terwakili secara struktural dalam sistem pemerintahan. Namun, bila narasi mereka diadopsi mentah-mentah oleh media tanpa verifikasi yang berimbang, maka efeknya bisa destruktif bagi citra investor.
Reputasi: Aset yang Tak Tampak Tapi Mudah Runtuh
Reputasi itu seperti bayangan, ia tidak kasat mata, tetapi selalu mengikuti langkah organisasi. Fombrun (1996) menyebut reputasi sebagai aset intangible paling berharga, namun juga paling rapuh. Sekali rusak, ia tak bisa diperbaiki hanya dengan klarifikasi hukum. Butuh waktu, relasi, dan narasi yang strategis untuk membangunnya kembali.
Inilah mengapa banyak investor lebih takut dengan pemberitaan buruk di media atau tekanan dari LSM dibandingkan menghadapi gugatan di pengadilan. Sebab kerugian reputasi bisa berdampak panjang, hilangnya kepercayaan pasar, hengkangnya mitra kerja, hingga mandeknya izin atau perizinan baru.
Trial by Media: Vonis Tanpa Meja Hijau
Kita hidup di zaman di mana trial by the media kerap terjadi. Media sosial menambah lapisan kompleks, mempercepat persebaran informasi dan menjadikannya konsumsi massal yang tak selalu dilandasi fakta. Masyarakat kerap memercayai informasi pertama yang mereka lihat, apalagi jika datang dari media atau akun publik yang dianggap kredibel.
Dalam konteks ini, saya tidak sedang menyalahkan media atau LSM. Mereka memiliki fungsi penting dalam kontrol sosial. Tapi yang perlu kita sadari bersama, kekuatan mereka membawa tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan informasi.
Saatnya Investor Melek Komunikasi Publik
Investor tidak bisa lagi hanya duduk di balik meja hukum. Mereka perlu menjadi bagian aktif dari percakapan publik. Komunikasi publik bukan pelengkap, tetapi kebutuhan strategis.
Saya mendorong semua investor agar membentuk tim manajemen krisis, membangun relasi positif dengan media dan LSM, serta mengintegrasikan tanggung jawab sosial (CSR) yang nyata dan berdampak langsung ke masyarakat. Karena ketika publik merasakan manfaat langsung dari investasi, mereka akan menjadi perisai yang melindungi dari narasi negatif.
Peran Media, LSM, dan Pemerintah: Bukan Lawan, Tapi Mitra
Media perlu kembali pada marwah jurnalistik yang berimbang dan berbasis data. LSM perlu menjaga objektivitas dan integritas advokasinya. Sementara pemerintah harus hadir sebagai jembatan komunikasi—bukan sekadar penonton ketika konflik persepsi muncul.
Pemerintah juga perlu mendorong literasi media di masyarakat agar publik tidak mudah terprovokasi atau termakan hoaks. Sebab publik yang cerdas adalah fondasi dari iklim investasi yang sehat.
Penutup
Di era digital, kebenaran tidak hanya ditentukan di ruang sidang, tapi juga di ruang publik. Maka siapa yang paling cepat dan cerdas dalam membentuk narasi, dialah yang akan memenangkan kepercayaan. Investor, media, dan LSM bukanlah lawan, melainkan trio yang harus bisa berdialog demi kemajuan bersama. Yang kita butuhkan saat ini bukan saling curiga, tetapi saling membuka diri untuk membangun kepercayaan.
Catatan redaksi:
Tulisan ini merupakan opini pribadi dan rangkuman jurnal penulis dan tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis bekerja.
LINK JURNAL
>>>>>> PDF DOWNLOAD <<<<<<
0Komentar